Jumat, 28 Juni 2013

Juni 28, 2013 Posted by Dayat Java No comments
Posted by Dayat Java on Juni 28, 2013 with No comments

Baby Write Number


Terisnpirasi dari banyaknya anak balita yang gemar bermain ponsel dan komputer tablet. Mico Wendy, Direktur PT Konsep Dot Net, menciptakan aplikasi pendidikan Baby Write Number. Melalui aplikasi Baby Write Number ini, jemari anak balita tinggal mengikuti titik-titik berurutan yang tampil di layar. Titik-titik itu kemudian akan membentuk sebuah angka.

Aplikasi ini memudahkan anak balita mengenal angka. "Selain gampang, anak-anak senang karena mendapat cara belajar baru," tutur Nora Sarumpaet, guru TK Penuai, Bandung, yang menerapkan aplikasi ini pada proses interaksi di kelas.

Software yang tergolong sederhana itu ternyata berhasil menyabet juara pertama di kompetisi aplikasi tingkat dunia yang digelar Nokia, Create 4 Millions, untuk kategori Access to Knowledge. Mico, ayah dua anak ini berhak memboyong hadiah 50 ribu euro atau sekitar Rp 615 juta. Selain Baby Write Number, ada lima seri aplikasi serupa, yakni Baby Draw Shape, Baby Play Card Animal and Alphabet, serta Baby Scratch Number and Alphabet.
 

Pesona Edu
Anggapan bahwa perangkat lunak buatan anak negeri tidak dapat bersaing dengan produk dari negara lain dipatahkan oleh PT Pesona Edukasi dengan produknya, Pesona Edu.

Software edukasi ini sekarang tidak hanya digunakan di 7.500 sekolah di Indonesia, namun juga di 2.500 sekolah di 24 negara lain seperti Singapura, Malaysia,Kanada, Jepang, Australia, Korea, hingga Amerika.

"Negara yang paling massif menggunakannya adalah Belanda, mencapai 1.900 sekolah,"ujar Hary S. Candra, Pendiri sekaligus Marketing Director PT Pesona Edukasi ketika ditemui di sela acara Indosat Internet di Gedung Indosat, Medan Merdeka, Rabu, 2 Mei 2012

Pesona Edu adalah software yang berisi bahan mata pelajaran Matematika dan Sains untuk tingkat SD hingga SMA. Yang menarik, materi diberikan dalam animasi yang interaktif. Misalnya saja dalam materi Fisika, murid dapat membandingkan gerakan bandul di bumi dan bulan yang memiliki gravitasi berbeda, hanya dengan menggeser animasi bandul di komputer.

Hary mangatakan software ini memudahkan guru untuk menerangkan materi yang sulit diajarkan bila hanya mengandalkan lisan atau tulisan. "Sementara cara ini pasti lebih menarik bagi murid," ujarnya menambahkan.

Hary menyatakan pihaknya telah merintis software ini sejak 1986, dengan hanya tiga orang karyawan. Namun saat ini PT Pesona Edukasi telah memiliki 75 pegawai, 35 di antaranya adalah pengembang software dan 30 orang merupakan tenaga pendidikan dari IKIP yang bertugas memeriksa konten dalam sodtware.

Hary mengatakan pihaknya memang kerap dipandang sebelah mata saat mengenalkan software ini di luar negeri. "Awalnya mereka menyangsikan kemampuan software asal Indonesia, namun setelah kami presentasi, penilaian mereka berubah," ujarnya. Software untuk satu mata pelajaran selama setahun untuk satu tingkat kelas dihargai Rp 5 juta.

Di Indonesia, 95 persen konsumen software yang mulai dipasarkan sejak 2001 ini berasal dari pemerintah daerah yang mengalokasikannya untuk sekolah negeri, sementara sisanya berasal dari sekolah swasta.

Hary mengatakan saat ini penetrasi software ini baru mencapai tiga persen dari seluruh sekolah di Indonesia. "Target kami per tahun ada dua ribu sekolah Indonesia yang menggunakan software ini," ujarnya. Namun menurutnya hambatan untuk memenuhi target ini adalah tidak meratanya kemampuan sekolah dalam pengadaan hardware maupun masalah konektivitas.

Siedun

Industri kreatif di bidang software pendidikan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di dalam dan luar negeri cukup menjanjikan. Sedikitnya dua pengembang software asli Indonesia yang bisa menembus pasar dunia. Hal tersebut terungkap dalam pertemuan perusahaan pengembang konten pendidikan, animasi, dan games yang digelar Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia dan Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi (MIKTI) di Jakarta

Sekjen MIKTI Hari Sungkari mengatakan, Indonesia punya potensi yang menjanjikan di bidang games, edukasi, musik digital, animasi, dan software atau disingkat GEMAS. "Indonesia punya daya saing di bidang GEMAS. Seperti musik, sudah bisa jadi tuan di negeri sendiri," kata Hari.

Namun demikian, Hari mengingatkan agar perusahaan software di Indonesia jangan jadi tukang jahit atau terima pesanan saja. "Justru harus bisa mengembangkan sendiri. Dengan demikian, nanti kita menikmati kekayaan dari royalti," katanya.

MIKTI telah melakukan sejumlah kegiatan mulai dari business couching, penyuluhan hak kekayaan intelektual, hingga membantu pemula yang hendak menjalani bisnis kreatif dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Hary S Candra, Koordinator Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia mengemukakan, Indonesia bisa dikenal dunia dari produlk software pendidikan. Semisal PT Pesona Edukasi yang mengembangkan software Matematika dan Sains tingkat SD-SMA/SMK sudah diekspor ke 23 negara.

"Bahkan, sudah ada tiga institusi internasional lagi yang tertarik dengan software pendidikan Indonesia. Ini peluang emas buat Indonesia untuk ekspor software pendidikan ke mancanegara," jelas Hary yang juga Marketing Director PT Pesona Edukasi.

Hary optimistis, suatu saat nanti dapat Indonesia dikenal dunia lewat produk software pendidikannya, baik yang sesuai kebutuhan kurikulum sekolah dan perguruan tinggi maupun untuk pendidikan umum. Untuk itu, Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia berupaya memperkuat kerja sama di antara perusahaan-perusahaan pengembang software di dalam negeri.

Di Indonesia sendiri, kucuran dana APBN untuk kebutuhan software pendidikan mencapai Rp 1,75 triliun. Sementara di dunia, ada 1,4 miliar anak yang butuh software pendidikan.



Sebuah game buatan Indonesia, Necronator II, meraih penghargaan The Mochis Award di ajang Flash Gaming Summit 2012 di San Fransisco, Amerika Serikat. Permainan buatan Toge Production itu menjadi kampiun di kategori Best Game Art. »Ini prestasi kedua setelah tahun lalu juara di kategori lain,” kata salah seorang pembuat game flash itu, Kris Antony, di Bandung. 

Necronator II menjadi finalis kategori Community Choice, namun gagal meraih penghargaannya. The Mochis Award merupakan ajang tahunan. Peraih penghargaan ditentukan melalui penilaian dewan juri. Perhelatan ke-4 itu sekarang terdiri dari 9 kategori. Game lain asal Indonesia Marching Zombies ikut menjadi finalis. Game buatan Vini Ramadhani itu masuk di kategori Best Puzzle Game.

Tahun lalu, Necronator II mendapat penghargaan Best Game Art di ajang Flash Gaming Summit di San Francisco, Amerika Serikat (AS). Dua permainan lain garapan Kris dan rekan-rekannya juga berhasil menjadi finalis lewat permainan Infectonator World Dominator dan Planetary Conflict. Planetary Conflict menggondol Best Multiplayer Game. 

Infectonator maupun Necronator merupakan permainan bertema zombie. Necronator II terbilang sukses. Sejak dirilis 5 November 2011, permainan ini sudah dimainkan 6,5 juta kali di seluruh dunia. Walaupun permainan ini kurang dilirik di negeri sendiri sehingga pengembang lokal lebih memilih pasar global.

Sedangkan berdasarkan situs Armorgames.com, Necronator II telah dimainkan 4 juta orang di seluruh dunia. Menurut Kris, mereka tak menyangka bisa menang dan disukai banyak orang. Sebagian game, ujarnya, di acara Game Developer Buka-bukaan di Bandung, Jumat 30 Maret 2012, dibuat sederhana. Game lainnya bahkan hanya dikerjakan oleh tim kecil.

"Tapi akhirnya kami kesulitan mengembangkan game itu karena cuma empat orang, jadi jangan nekad juga bikin game," kata dia.

Kris dan timnya kini mengaku lebih berhati-hati karena game terbaru mereka, Reich of Darkness, menuai kontroversi. Walau telah meminta maaf kepada sebuah lembaga Yahudi yang menyuratinya, permainan tersebut tak lagi bisa dimainkan di salah satu situs. »Kami dikira Neo Nazi,” ujar Kris.

0 $type={blogger}:

Posting Komentar