Baby Write Number
Terisnpirasi dari banyaknya anak
balita yang gemar bermain ponsel dan komputer tablet. Mico Wendy,
Direktur PT Konsep Dot Net, menciptakan aplikasi pendidikan Baby Write
Number. Melalui aplikasi Baby Write Number ini, jemari anak balita
tinggal mengikuti titik-titik berurutan yang tampil di layar.
Titik-titik itu kemudian akan membentuk sebuah angka.
Aplikasi ini memudahkan anak
balita mengenal angka. "Selain gampang, anak-anak senang karena mendapat
cara belajar baru," tutur Nora Sarumpaet, guru TK Penuai, Bandung, yang
menerapkan aplikasi ini pada proses interaksi di kelas.
Software yang tergolong
sederhana itu ternyata berhasil menyabet juara pertama di kompetisi
aplikasi tingkat dunia yang digelar Nokia, Create 4 Millions, untuk
kategori Access to Knowledge. Mico, ayah dua anak ini berhak memboyong
hadiah 50 ribu euro atau sekitar Rp 615 juta. Selain Baby Write Number,
ada lima seri aplikasi serupa, yakni Baby Draw Shape, Baby Play Card
Animal and Alphabet, serta Baby Scratch Number and Alphabet.
Pesona Edu
Anggapan
bahwa perangkat lunak buatan anak negeri tidak dapat bersaing dengan
produk dari negara lain dipatahkan oleh PT Pesona Edukasi dengan
produknya, Pesona Edu.
Software edukasi ini sekarang
tidak hanya digunakan di 7.500 sekolah di Indonesia, namun juga di 2.500
sekolah di 24 negara lain seperti Singapura, Malaysia,Kanada, Jepang,
Australia, Korea, hingga Amerika.
"Negara yang paling massif
menggunakannya adalah Belanda, mencapai 1.900 sekolah,"ujar Hary S.
Candra, Pendiri sekaligus Marketing Director PT Pesona Edukasi ketika
ditemui di sela acara Indosat Internet di Gedung Indosat, Medan Merdeka,
Rabu, 2 Mei 2012
Pesona Edu adalah software yang
berisi bahan mata pelajaran Matematika dan Sains untuk tingkat SD hingga
SMA. Yang menarik, materi diberikan dalam animasi yang interaktif.
Misalnya saja dalam materi Fisika, murid dapat membandingkan gerakan
bandul di bumi dan bulan yang memiliki gravitasi berbeda, hanya dengan
menggeser animasi bandul di komputer.
Hary mangatakan software ini
memudahkan guru untuk menerangkan materi yang sulit diajarkan bila hanya
mengandalkan lisan atau tulisan. "Sementara cara ini pasti lebih
menarik bagi murid," ujarnya menambahkan.
Hary menyatakan pihaknya telah
merintis software ini sejak 1986, dengan hanya tiga orang karyawan.
Namun saat ini PT Pesona Edukasi telah memiliki 75 pegawai, 35 di
antaranya adalah pengembang software dan 30 orang merupakan tenaga
pendidikan dari IKIP yang bertugas memeriksa konten dalam sodtware.
Hary mengatakan pihaknya memang
kerap dipandang sebelah mata saat mengenalkan software ini di luar
negeri. "Awalnya mereka menyangsikan kemampuan software asal Indonesia,
namun setelah kami presentasi, penilaian mereka berubah,"
ujarnya. Software untuk satu mata pelajaran selama setahun untuk satu
tingkat kelas dihargai Rp 5 juta.
Di Indonesia, 95 persen konsumen
software yang mulai dipasarkan sejak 2001 ini berasal dari pemerintah
daerah yang mengalokasikannya untuk sekolah negeri, sementara sisanya
berasal dari sekolah swasta.
Hary mengatakan saat ini
penetrasi software ini baru mencapai tiga persen dari seluruh sekolah di
Indonesia. "Target kami per tahun ada dua ribu sekolah Indonesia yang
menggunakan software ini," ujarnya. Namun menurutnya hambatan untuk
memenuhi target ini adalah tidak meratanya kemampuan sekolah dalam
pengadaan hardware maupun masalah konektivitas.
Siedun
Industri kreatif di bidang software
pendidikan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di dalam dan
luar negeri cukup menjanjikan. Sedikitnya dua pengembang software asli
Indonesia yang bisa menembus pasar dunia. Hal tersebut terungkap dalam
pertemuan perusahaan pengembang konten pendidikan, animasi, dan games
yang digelar Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia dan
Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi (MIKTI) di Jakarta
Sekjen MIKTI Hari Sungkari
mengatakan, Indonesia punya potensi yang menjanjikan di bidang games,
edukasi, musik digital, animasi, dan software atau disingkat GEMAS.
"Indonesia punya daya saing di bidang GEMAS. Seperti musik, sudah bisa
jadi tuan di negeri sendiri," kata Hari.
Namun demikian, Hari
mengingatkan agar perusahaan software di Indonesia jangan jadi tukang
jahit atau terima pesanan saja. "Justru harus bisa mengembangkan
sendiri. Dengan demikian, nanti kita menikmati kekayaan dari royalti,"
katanya.
MIKTI telah melakukan sejumlah
kegiatan mulai dari business couching, penyuluhan hak kekayaan
intelektual, hingga membantu pemula yang hendak menjalani bisnis kreatif
dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Hary S Candra, Koordinator
Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia mengemukakan, Indonesia
bisa dikenal dunia dari produlk software pendidikan. Semisal PT Pesona
Edukasi yang mengembangkan software Matematika dan Sains tingkat
SD-SMA/SMK sudah diekspor ke 23 negara.
"Bahkan, sudah ada tiga
institusi internasional lagi yang tertarik dengan software pendidikan
Indonesia. Ini peluang emas buat Indonesia untuk ekspor software
pendidikan ke mancanegara," jelas Hary yang juga Marketing Director PT
Pesona Edukasi.
Hary optimistis, suatu saat
nanti dapat Indonesia dikenal dunia lewat produk software pendidikannya,
baik yang sesuai kebutuhan kurikulum sekolah dan perguruan tinggi
maupun untuk pendidikan umum. Untuk itu, Paguyuban Pengembang Software
Edukasi Indonesia berupaya memperkuat kerja sama di antara
perusahaan-perusahaan pengembang software di dalam negeri.
Di Indonesia sendiri, kucuran
dana APBN untuk kebutuhan software pendidikan mencapai Rp 1,75 triliun.
Sementara di dunia, ada 1,4 miliar anak yang butuh software pendidikan.
Sebuah game buatan Indonesia,
Necronator II, meraih penghargaan The Mochis Award di ajang Flash Gaming
Summit 2012 di San Fransisco, Amerika Serikat. Permainan buatan Toge
Production itu menjadi kampiun di kategori Best Game Art. »Ini prestasi
kedua setelah tahun lalu juara di kategori lain,” kata salah seorang
pembuat game flash itu, Kris Antony, di Bandung.
Necronator II menjadi finalis
kategori Community Choice, namun gagal meraih penghargaannya. The Mochis
Award merupakan ajang tahunan. Peraih penghargaan ditentukan melalui
penilaian dewan juri. Perhelatan ke-4 itu sekarang terdiri dari 9
kategori. Game lain asal Indonesia Marching Zombies ikut menjadi
finalis. Game buatan Vini Ramadhani itu masuk di kategori Best Puzzle
Game.
Tahun lalu, Necronator II
mendapat penghargaan Best Game Art di ajang Flash Gaming Summit di San
Francisco, Amerika Serikat (AS). Dua permainan lain garapan Kris dan
rekan-rekannya juga berhasil menjadi finalis lewat permainan
Infectonator World Dominator dan Planetary Conflict. Planetary Conflict
menggondol Best Multiplayer Game.
Infectonator maupun Necronator
merupakan permainan bertema zombie. Necronator II terbilang sukses.
Sejak dirilis 5 November 2011, permainan ini sudah dimainkan 6,5 juta
kali di seluruh dunia. Walaupun permainan ini kurang dilirik di negeri
sendiri sehingga pengembang lokal lebih memilih pasar global.
Sedangkan berdasarkan situs
Armorgames.com, Necronator II telah dimainkan 4 juta orang di seluruh
dunia. Menurut Kris, mereka tak menyangka bisa menang dan disukai banyak
orang. Sebagian game, ujarnya, di acara Game Developer Buka-bukaan di
Bandung, Jumat 30 Maret 2012, dibuat sederhana. Game lainnya bahkan
hanya dikerjakan oleh tim kecil.
"Tapi akhirnya kami kesulitan mengembangkan game itu karena cuma empat orang, jadi jangan nekad juga bikin game," kata dia.
Kris dan timnya kini mengaku
lebih berhati-hati karena game terbaru mereka, Reich of Darkness, menuai
kontroversi. Walau telah meminta maaf kepada sebuah lembaga Yahudi yang
menyuratinya, permainan tersebut tak lagi bisa dimainkan di salah satu
situs. »Kami dikira Neo Nazi,” ujar Kris.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar